jump to navigation

Program Safety Management System Penerbangan Januari 17, 2010

Posted by penulis in hukum penerbangan.
Tags: , , ,
add a comment



1. Landasan Hukum

Peraturan ini diumumkan secara resmi di bawah kewenangan Undang-undang No.1/2009 tentang Penerbangan, Bab XIII – Keselamatan Penerbangan, Bagian Keempat – Sistem Manajemen Keselamatan Penyedia Jasa Penerbangan.

2. Ruang Lingkup dan Penerapan

a. Ruang lingkup

1)      Peraturan ini menguraikan persyaratan untuk suatu penyedia layanan Safety Management System (SMS) yang beroperasi sesuai dengan ICAO Annex 6 – Operation of Aircraft, ICAO Annex 11 – Air Traffic Services, dan ICAO Annex 14 – Aerodromes.

2)       Di dalam konteks peraturan ini, istilah “Penyedia Layanan” harus dipahami dengan merujuk pada suatu organisasi yang berkaitan dengan penyediaan layanan penerbangan.

3)      Peraturan ini lebih memperhatikan proses dan aktifitas yang berkaitan dengan keselamatan daripada jabatan keselamatan, perlindungan lingkungan, atau kualitas layanan pelanggan.

4)      Penyedia layanan bertanggung jawab untuk layanan keselamatan atau produk yang disewa atau dibeli dari organisasi lain.

5)      Peraturan ini menetapkan persyaratan minimum yang dapat diterima; penyedia layanan dapat menetapkan persyaratan yang lebih ketat.

b. Penerapan dan penerimaan

Penyedia layanan harus mulai menerapkan Safety Management System (SMS) yang dapat diterima oleh Direktorat Jenderal Perhubungan Udara pada :

1)      Operator pesawat atau penyedia layanan lainnya : 1 Januari 2009.

2)      Operator Bandara Internasional : 1 Januari 2010.

3)      Operator Bandara Domestik ; 1 Januari 2011.

Mengandung sedikitnya :

(1) mengenali ancaman keselamatan dan penilaian dan mengurangi resiko;

(2) memastikan tindakan perbaikan diperlukan untuk mempertahankan suatu tingkat keselamatan yang dapat diterima dapat dilaksanakan;

c. Kebijakan keselamatan dan Sasaran

a. Persyaratan Umum

  1. Penyedia layanan harus menyatakan kebijakan keselamatan organisasi.
  2. Kebijakan keselamatan harus ditandatangani oleh Accountable Executive perusahaan.
  3. Kebijakan keselamatan harus sesuai dengan persyaratan hukum yang berlaku dan standar internasional, praktek industri terbaik dan mencerminkan komitmen organisasi berkaitan dengan keselamatan.
  4. Kebijakan keselamatan harus dikomunikasikan, dengan pengesahan yang dapat dilaksanakan, terhadap keseluruhan perusahaan.
  5. Kebijakan keselamatan harus memasukan pernyataan secara jelas tentang ketentuan sumber daya manusia dan keuangan yang diperlukan dalam pelaksanaannya.
  6. Kebijakan keselamatan harus, antara lain memasukan sasaran berikut:

(a) komitmen untuk melaksanakan suatu SMS;

(b) komitmen untuk peningkatan berkelanjutan dari tingkat keselamatan;

(c) komitmen untuk manajemen resiko keselamatan;

(d) komitmen untuk mendorong pekerja untuk melaporkan isu keselamatan;

(e) pembentukan standar secara jelas untuk tingkah laku yang dapat diterima;

(f) identifikasi tanggung jawab dari manajemen dan pekerja dalam kaitannya dengan kinerja keselamatan.

  1. Kebijakan keselamatan harus ditinjau ulang secara berkala untuk memastikan bahwa hal tersebut masih relevan dan sesuai dengan organisasi.
  2. Penyedia layanan harus menetapkan sasaran keselamatan untuk SMS.
  3. Sasaran keselamatan harus dikaitkan pada indikator kinerja keselamatan, target kinerja keselamatan dan persyaratan keselamatan dari penyedia layanan SMS.

b. Struktur Organisasi dan tanggung jawab

(1) Suatu penyedia layanan harus menunjuk seorang Accountable Executive yang bertanggung jawab dan dapat dimintai tanggung jawab atas nama penyedia layanan untuk memenuhi persyaratan sesuai peraturan dan harus memberitahu Ditjen Perhubungan Udara tentang nama dari orang tersebut.

(2) Accountable Executive harus seseorang, orang yang dapat dikenali, tanpa memandang fungsi lain, harus memiliki tanggung jawab utama untuk pelaksanaan dan merpertahankan SMS.

(3) Accountable Executive harus memiliki:

(a) kendali penuh atas sumberdaya manusia yang dibutuhkan untuk operasi yang ijinkan pada Sertifikat Operasi ;

(b) kendali penuh atas sumber daya keuangan yang diperlukan untuk operasi yang diijinkan pada sertifikat operasi;

(c) wewenang akhir atas operasi yang dijinkan untuk dilaksanakan pada sertifikat operasi;

(d) bertanggunng jawab langsung atas urusan organisasi; dan

(e) bertanggung jawab akhir dari segala urusan keselamatan.

c. Rencana Pelaksanaan SMS

(1) Suatu penyedia layanan harus mengembangkan dan mempertahankan suatu rencana pelaksanaan SMS.

(2) Pelaksanaan SMS harus merupakan ketetapan organisasi yang akan mengadopsi dalam pengelolaan keselamatan dalam suatu cara yang akan memenuhi kebutuhan keselamatan organisasi.

(3) Rencana pelaksanaan SMS harus memasukan berikut ini;

(a) sasaran dan kebijakan keselamatan;

(b) rencana keselamatan;

(c) uraian sistem;

(d) analisis kesenjangan;

(e) komponen SMS;

(f) tanggungjawab dan peran SMS;

(g) kebijakan pelaporan keselamatan;

(h) cara pelibatan pekerja;

(i) pelatihan keselamatan;

(j) komunikasi keselamatan;

(k) pengukuran kinerja keselamatan;

(l) peninjauan ulang oleh manjemen atas kinerja keselamatan. (lebih…)

KERJASAMA ANGKUTAN UDARA NIAGA Oktober 5, 2009

Posted by penulis in hukum penerbangan.
Tags:
add a comment

Kegiatan angkutan udara niaga pelaksanaannya dapat dilakukan dengan cara kerja sama dan harus disetujui Direktur Jenderal. kerjasama kegiatan angkutan udara niaga untuk angkutan udara dalam negeri dapat dalam bentuk:
a. kerjasama operasi (joint operation);
b. code sharing; dan
c. bentuk kerjasama komersial lainnya yang sesuai dengan peraturan yang berlaku.
Kerjasama kegiatan angkutan udara niaga untuk angkutan udara luar negeri dapat dilakukan dalam bentuk:
a. kerjasama operasi (joint operation);
b. bilateral code sharing;
c. domestic code sharing, perusahaan angkutan udara niaga nasional yang melakukan angkutan udara niaga berjadwal dalam negeri harus bertindak sebagai pengangkut nyata (actual carrier).
d. bentuk kerja sama komersial lainnya sesuai perjanjian hubungan udara bilateral dan/atau multilateral.
Perusahaan angkutan udara niaga berjadwal atau tidak berjadwal dilarang menjual seluruh kapasitas pesawat udara kepada agen penjualan tiket atau agen perjalanan umum yang kemudian oleh agen penjualan tiket atau agen perjalanan umum kapasitas tersebut dijual kepada umum secara eceran, kecuali pembelian kapasitas pesawat udara tersebut untuk angkutan udara niaga tidak berjadwal. Perusahaan angkutan udara niaga berjadwal yang melanggar ketentuan, tidak diberikan persetujuan terbangnya (lebih…)

JENIS DAN PERSYARATAN ANGKUTAN UDARA Oktober 5, 2009

Posted by penulis in hukum penerbangan.
Tags:
add a comment

WestJet

Kegiatan angkutan udara terdiri atas :

a.          angkutan udara niaga;

  1. angkutan udara niaga berjadwal; dan
  2. angkutan udara niaga tidak berjadwal

b.          angkutan udara bukan niaga.

Kegiatan angkutan Udara Niaga dapat dilakukan setelah mendapat izin usaha angkutan udara niaga dari Direktur Jenderal. Izin usaha angkutan udara niaga ada dua yaitu, izin usaha berjadwal dan izin usaha angkutan udara niaga tidak berjadwal. Izin ini berlaku selama pemegang izin melakukan kegiatanya dan akan dievaluasi 3 tahun sekali. (pasal 2)

Untuk mendapatkan izin usaha pemohon mengajukan permohonan secara tertulis kepada Direktur Jenderal sesuai dengan persyaratan dari dirjen hubud dan memenuhi kuota jumlah pesawat dan frekuensi penerbangan yang ditetapkan oleh DIrjen Hubud. Diantaranya adalah memuat rencana bisnis (business plan) untuk kurun waktu minimal 5 (lima) tahun yang sekurang-kurangnya memuat :

  1. jenis dan jumlah pesawat udara yang akan dioperasikan;
  2. rencana pusat kegiatan operasi penerbangan {operation base) dan rute penerbangan bagi perusahaan angkutan udara niaga berjadwal;
  3. aspek pemasaran dalam bentuk potensi permintaan pasar angkutan udara (demand);
  4. number riaya manusia termasuk teknisi dan awak pesawat udara;
  5. kesiapan atau kelayakan operasi;
  6. analisis dan evaluasi aspek ekonomi dan keuangan. (pasal 4)

Dimana setiap butir mempunyai ketentuan yang telah ditetapkan.

 

                Direktur Jenderal memberikan izin usaha apabila pemohon telah memenuhi persyaratan serta berdasarkan penilaian yang dinyatakan mampu untuk melakukan kegiatan usaha sesuai jenis izin usaha yang dimohon.           Pemberian atau penolakan atas permohonan izin usaha oleh Direktur Jenderal diberikan secara tertulis dalam jangka waktu 60 (enam puluh) hari kerja setelah permohonan diterima secara lengkap. (pasal 7)

                untuk kegiatan angkutan udara niaga berjadwal dilampirkan rute penerbangan sesuai rencana bisnis (business plan) yang telah disetujui. Direktur Jenderal melakukan evaluasi terhadap rute penerbangan tersebut minimal 5 tahun sekali. Izin yang telah diperoleh tidak dapat dipindah tangankan ataupun kecuali mendapat ijin dari dirjen. (lebih…)

aturan2 penerbangan Oktober 4, 2009

Posted by penulis in hukum penerbangan.
Tags:
add a comment

Angkutan Udara Internasional. Dalam kegiatan angkutan udara internasional berlaku beberapa ketentuan internasional, antara lain :

a) Konvensi Warsawa 1929 : convention for the unification of certain rules relating to international carriage by air.

b) Protokol The Hague 1955.

c) Konvensi Guadalejara 1961 : convention supplementary to the warsawa convention for the unification of certain rules to international carriage by air perfomed by a person other than contracting carrier.

d) Protokol Guatemala 1971.

e) Konvensi Montreal 1975 (No. 1-4).

f) Montreal Agreement 1966. (lebih…)